DUNIA PERBANKAN - Hasil simulasi Bank Indonesia (BI) menunjukkan ketahanan perbankan tetap terjaga. Tapi sejumlah faktor risiko dari kondisi makro domestik maupun nasional perlu diwaspadai.
Bank sentral terus meningkatkan efisiensi sistem pembayaran melalui pengetatan kebijakan akselerasi digitalisasi dan sistem pembayaran untuk mendukung keuangan yang inklusif.
BI kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate pada bulan ini. Kini suku bunga acuan menjadi 5,25%. Suku bunga Deposit Facility sebesar 4,50%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6%.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar 50 menjadi 5,25%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (17/11/2022)
Konsensus pasar memproyeksikan BI akan menaikkan suku bunga acuan secara agresif pada bulan ini.
Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, delapan lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25%.
Sementara itu, enam lembaga/institusi memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,00%.
Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 125 bps hanya dalam waktu tiga bulan, masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, dan 50 bps pada Oktober.
Pada Oktober 2022, posisi suku bunga acuan BI berada di 4,75% sementara suku bunga Deposit Facility sebesar 4,00%, dan suku bunga Lending Facility ada di 5,50%.
"Keputusan kenaikan suku bunga ini sebagai langkah lanjutan secara front loaded pre emptive dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3 plus minus 1% lebih awal yaitu paruh pertama 2023," kata Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (17/11/2022).
Keputusan ini juga turut menjaga stabilitas nilai tukar yang kini tengah melemah terhadap dolar AS.
"Memperkuat kebijakan stabilisasi NTR agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian global di tengah permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat," pungkasnya.